• Profil
  • Struktur Organisasi
  • Bidang
  • Pengurus Periode 2020-2023
  • Hubungi Kami
Monday, March 1, 2021
No Result
View All Result
  • MNPK
  • MPK
  • Opini
  • Galeri
  • Oase MNPK
MNPK
No Result
View All Result
Home MNPK

Kerangka Kerja Sekolah-sekolah Katolik Flores-Lembata

30/06/2019
0

Konferensi sekolah Katolik se-Flores-Lembata pada 20-23 Juni 2019 di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.

0
SHARES
Share on FacebookShare on Twitter

A. Pengantar

Perwakilan sekolah-sekolah Katolik di Flores-Lembata, dalam empat wilayah Majelis Pendidikan Keuskupan (MPK), yaitu MPK Ruteng, MPK Ende, MPK Maumere dan MPK Larantuka, mengikuti konferensi pada 20-23 Juni 2019 di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat untuk menyatukan komitmen meningkatkan mutu pendidikan, di tengah adanya keprihatinan terhadap fakta menurunnya mutu pendidikan di Flores-Lembata.

Dengan identitas bersama, yakni sebagai sebagai bagian dari Gereja Katolik, sekolah-sekolah Katolik Flores-Lembata merasa perlu untuk saling belajar dan membagi pengalaman, yang bisa saling memperkaya, sekaligus mendorong reformasi diri dengan niat menghasilkan generasi masa depan yang menghidupi nilai-nilai kekatolikan, sekaligus siap menghadapi tuntutan era 4.0 saat ini.

Konferensi ini yang diinisiasi oleh Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) bersama MPK Fores-Lembata mengambil tema “Identitas Sekolah Katolik Flores-Lembata di Tengah Tantangan Era Industri 4.0.” Perwakilan pemerintah dari sembilan kabupaten di Flores-Lembata juga ikut dalam kegiatan ini.

Proses konferensi dilakukan dengan pertama-tama menegaskan posisi Gereja dalam karya di bidang pendidikan, menggali inspirasi dari sejarah, melihat perkembangan dunia kini, dan mengurai praktek-praktek yang selama ini dilakukan LPK, lalu kemudian merumuskan langkah-langkah konkret yang bisa ditindaklanjuti, baik di level sekolah, MPK dan MNPK, mitra (pemerintah dan masyarakat) maupun dalam konteks bersama sebagai LPK di Flores-Lembata.

B. Gereja dan Sekolah Katolik

Sekolah-sekolah Katolik merupakan bagian integral dari misi Gereja, yaitu sebagai media pewartaan kabar baik, yang mengintegrasikan iman, budaya dan kehidupan. Dalam hal ini, sekolah-sekolah Katolik menyiapkan para peserta didik untuk mengintegrasikan iman Katolik dengan budaya mereka dan untuk menghidupi iman itu dalam perbuatan. 

Gereja Katolik menuntut agar proses pendidikan di sekolah Katolik terarah pada pembentukan manusia yang utuh, yang dilandasi oleh spiritualitas atau nilai-nilai kekatolikan. Nilai-nilai itu menjadi roh yang menginspirasi para penyelenggara, pengelola, guru dan seluruh warga sekolah.

Tentu saja, identitas kekatolikan itu tidak hanya terbatas pada hal-hal yang lahiriah, seperti simbol-simbol, pengajaran Mata Pelajaran Agama Katolik, tetapi harus mewujud dalam seluruh gerak langkah sekolah Katolik.

Menyadari penting dan strategisnya sekolah Katolik, Gereja Katolik menaruh harapan besar dan mendukung eksistensi sekolah Katolik dalam kiprahnya di tengah zaman yang terus berubah.

C. Inspirasi Sejarah

Sejak awal kehadirannya di Flores-Lembata, Gereja Katolik meyakini bahwa karya di bidang ini adalah hal yang sangat vital untuk mewartakan misteri keselamatan, mendorong pembaharuan dalam aneka bidang kehidupan dan memelihara hidup manusia seutuhnya. Pendidikan formal dan non formal yang dirintis dan diasuh oleh Gereja Katolik termasuk melalui asrama telah menjadi medan laga yang sekaligus mewadahi tugas perutusan Gereja di bidang pendidikan. 

Gereja Katolik telah mewajbkan sekolah-sekolah memelihara ciri khas Katolik, termasuk muatanya, melalui berbagai kegiatan rohani seperti katekese untuk katekumenat, pembinaan liturgi, ibadat, devosi, pendalaman iman dan nilai-nilai kristiani. 

Di sisi lain,  Gereja Katolik menaruh perhatian yang sungguh-sungguh pada guru, di mana mereka diperlakukan  serentak sebagai ‘misionaris dan rasul awam.’ Mereka dipersiapkan dengan matang, mulai dari persiapan profesi, pelaksanaan tugas pokok, pendidikan lanjut, pembinaan rohani untuk peningkatan kompetensi terkait pengetahuan, keterampilan dan spiritualitas, hingga kebutuhan finansial. Hal demikian dilakukan untuk membentuk kompetensi mereka dan menanamkan dalam diri mereka motivasi yang kuat untuk menjalankan peran sebagai pendidik yang sangat dipengaruhi pula oleh bobot religiusnya.

Sejak awal, Gereja dan pemerintah juga menjalin kerja sama dan bermitra dengan baik. Pemerintah bahkan mengakui dan mengandalkan peran misi dalam urusan pendidikan, karena dianggap sukses menghasilkan sekolah dengan sejumlah keunggulan, yakni memiliki budaya disiplin yang ketat, pengabdian guru yang total, kurikulum yang independen dan menekankan keseimbangan antara penanaman pengetahuan, praktek dan pembentukan karakter serta terciptanya relasi guru dengan murid yang penuh kehangatan.

D. Konteks Kini: Era 4.0

Zaman terus berubah dan sekolah-sekolah Katolik di Flores-Lembata pun ikut terkena dampaknya. Saat ini, sekolah-sekolah Katolik berdampingan dengan banyak sekolah lain, yaitu sekolah-sekolah negeri, sebuah situasi yang tentu saja berbeda dengan kondisi di masa lampau.

Selain itu, sekolah-sekolah Katolik menjalankan misinya di tengah perkembangan dunia yang mengalami begitu banyak perubahan, dengan apa yang disebut sebagai era revolusi industri 4.0. Ciri yang menandainya adalah lompatan besar di dunia digital, dengan penggunaan besara-besaran kecerdasan buatan, robot dan internet di berbagai bidang. Hal ini melahirkan banyak disrupsi dalam sejumlah aspek kehidupan, termasuk digesernya tenaga manusia oleh mesin-mesin. 

Situasi baru ini menuntut kompetensi yang baru pula pada manusia zaman ini. Di tengah berbagai keterbatasan situasi di Flores-Lembata, LPK wajib menyikapi era ini, agar tetap eksis dan relevan dengan konteks zaman. Hal ini menunut adanya sejumlah upaya pembaruan, baik terkait kepemimpinaan, penyelenggaraan sekolah maupun strategi pembelajaran.

Hasil dari proses pendidikan era ini diarahkan pada upaya melahirkan generasi yang kreatif, responsif, konektif, mampu berpikir kritis, mampu memecahkan persoalan, inovatif, kolaboratif, mencintai budaya literasi dan mampu berpikir tingkat tinggi. 

Sekolah-sekolah Katolik juga dituntut untuk menetapkan standar output yang jelas, agar lulusan-lulusan yang dihasilkan memiliki keterampilan dan siap memasuki dunia kerja.

E. Situasi Pendidikan di Flores-Lembata Kini

Peserta konferensi menemukan bahwa secara umum situasi yang dialami sekolah-sekolah Katolik di Flores-Lembata mengalami kemunduran, meski tentu saja masih ada segelintir sekolah yang berhasil mempertahankan keunggulannya.

Kemunduran itu tampak dari segi memudarnya identitas Katolik maupun dari segi mutu lulusan.  Kekhasan sekolah katolik yang unggul dan berkualitas diangggap menjadi cerita masa lalu.

Data statistik pemerintah terkait Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang salah satu indikatornya adalah pendidikan, misalnya menempatkan Provinsi Nusa Tenggara Timur terus berada di posisi 32 dari 34 provinsi, hanya berada di atas Provinsi Papua dan Papua Barat.

Para peserta menemukan sejumlah persoalan yang menjadi pemicu fakta ini, yang diuraikan sebagai berikut:

1. LPK

Penyelenggara/Yayasan

  • Penyelenggara kurang memiliki kesetiaan kepada ciri khas Katolik yang tampak dalam rumusan visi dan misi sekolah dan praksis dalam satuan pendidikan. Visi dan misi juga tidak diperbaharui sesuai perkembangan jaman. Akibatnya, kebijakan dan program penguatan identitas Katolik belum kelihatan.
  • Kurangnya profesionalitas masih menjadi persoalan besar, yang tampak dalam hal tidak adanya transparansi dan pengelolaan sekolah lebih berorientasi pada bisnis.
  • Penyelenggara jarang melakukan kegiatan pelatihan kepemimpinan terhadap para kepala sekolah dan pelatihan untuk peningkatan kompetensi guru.
  • Penyelenggara mengalami keterbatasan dana yang menghambat upaya untuk melakukan terobosan-terobosan baru.
  • Peran penyelenggara, terutama untuk Sekolah Dasar Katolik, belum maksimal karena adanya dualisme pengelolaan antara yayasan dan pemerintah.

Pengelola/Kepala Sekolah

  • Kurangnya profesionalitas, di mana salah satu pemicunya adalah pengangkatan kepala sekolah yang dilakukan karena kepentingan subjektif yayasan, bukan berdasarkan kompetensi.
  • Kurangnya keberanian dan kreativitas untuk mengembangkan kurikulum nasional – yang sarat atau didominasi oleh penyampaian ilmu pengetahuan – agar responsif terhadap katolisitas dan kearifan lokal.
  • Kurangnya kemampuan menerjemahkan konsep Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) untuk memperkuat identitas Katolik. 
  • Kurangnya kemampuan mengintegrasikan pendidikan di sekolah dengan pembinaan di asrama.

Pendidik/Guru

  • Proses perekrutan guru tidak dilakukan secara profesional.
  • Para guru tidak dipersiapkan dengan matang dari segi  spiritualitas, pengetahuan dan ketrampilan.
  • Para guru lemah dalam hal kompetensi, baik pedagogik, profesional, kepribadian maupun sosial. 
  • Guru bekerja untuk memenuhi tuntutan kurikulum semata, sehingga relasi guru dan murid adalah semata-mata dalam kerangka transfer pengetahuan.
  • Menurunya minat belajar.
  • Melemahnya spiritualitas, berupa keteladanan dan kesaksian hidup dan tidak menyadari diri sebagai agen pastoral. 

2. MPK

  • Kurang mendampingi sekolah dalam proses perumusan visi dan misi.
  • Kurang aktif dalam menginisiasi program-program untuk peningkatan kompetensi penyelenggara, pengelola dan pendidik.

3. Mitra: Pemerintah dan Masyarakat

Pemerintah

  • Pemerintah cenderung mengintervensi kewenangan pengelola sekolah swasta, termasuk dalam penunjukkan kepala sekolah dari unsur pegawai negeri. Pengangkatan kepala sekolah pada sekolah swasta oleh pemerintah sangat berpengaruh terhadap ketaatan kepala sekolah terhadap kebijakan yayasan. 
  • Perubahan-perubahan regulasi dari tingkat pusat tidak disosialisasikan di tingkat daerah.
  • Pemerintah hanya fokus pada kebijakan pembangunan fisik. Padahal, sekolah juga membutuhkan pendampingan untuk peningkatan kompetensi guru.
  • Banyak sekolah negeri baru yang didirikan berdampingan dengan LPK dan menerapkan kebijakan biaya murah, hal yang mengancam eksistensi LPK.
  • Ada regulasi yang diskriminatif, di mana hanya mengakui beban kerja guru negeri yang bekerja di sekolah negeri, sedangkan beban kerja guru negeri di sekolah Katolik tidak diakui. 

Masyarakat

  • Keterlibatan masyarakat masih terbatas pada partisipasi finansial untuk pengembangan pendidikan. 
  • Peran masyarakat dalam mengawas dan evaluasi proses pendidikan di sekolah tidak berjalan. 
  • Minimnya komunikasi antara sekolah dan orangtua.

F. Langkah Transformatif

Dengan merujuk pada dasar pandangan Gereja terhadap pendidikan, inspirasi historis, konteks perkembangan saat ini dan realitas yang terjadi di LPK Flores-Lembata saat ini, maka perlu langkah-langkah transformatif. 

Langkah-langkah itu dilakukan secara menyeluruh, yang melibatkan berbagai pihak, baik sekolah (penyelenggara, pengelola dan guru) maupun MPK dan mitra (pemerintah dan masyarakat). 

Dalam konteks Flores-Lembaga, salah satu yang juga dianggap penting adalah koordinasi lintas MPK, yang dalam konferensi ini kemudian melahirkan wadah Tim Kerja MPK se-Flores Lembata. Tim kerja ini menjadi wadah koordinasi di antara empat MPK se-Flores Lembata.

1. LPK

Penyelenggara/Yayasan

  • Merevisi visi misi agar memuat identitas kekatolikan, dengan unsur-unsur sebagai berikut: (1) mewujudkan nilai-nilai pendidikan katolik dalam penyelenggaraan pendidikan; (2) merevitalisasi tradisi pendidikan Katolik dalam konteks budaya lokal; (3) mewujudkan insan pendidikan yang memiliki kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan spiritual; (4) mewujudkan pembelajaran abad 21; (5) mewujudkan kemitraan dengan semua pihak (orangtua, pemerintah, lembaga lain); (6) mewujudkan pendidikan yang berpihak pada kelestarian ekologi; dan (7) mewujudkan pendidikan inklusif berbasis empat pilar kebangsaan.
  • Membangun relasi yang baik dengan Gereja setempat.
  • Menerapkan manajemen yang akuntabel, kredibel dan transparan, termasuk dalam hal keuangan.
  • Membangun sinergi dengan pemerintah dan instansi lain yang berkaitan erat dengan pendidikan.
  • Memberi perhatian serius pada peningkatan kesejahteraan guru dengan penetapan upah yang layak.

Pengelola/Kepala Sekolah

  • Mengembangkan kultur kekatolikan, termasuk memajang simbol-simbol kekatolikan di lingkungan sekolah, rekoleksi secara berkala, retreat tahunan dan Misa pada momen-momen tertentu.
  • Memperkuat kapasitas dan kapabilitas tenaga pendidik dalam mengintegrasikan nilai-nilai kekatolikan dalam program dan kegiatan ekstra-kurikuler, kurikuler dan kokurikuler.
  • Menerapkan model kepemimpinan yang sesuai dengan tuntutan era 4.0, seperti membudayakan dialog, menciptakan iklim relasi yang organik, meninggalkan model kepemimpinan yang mekanistis, birokratis, formalisasi tinggi dan sentralistis.
  • Menjaga integritas dan menempatkan prinsip transparan, akuntabel, kredibel, demokratis yang didukung oleh penggunaan sistem teknologi dan informasi dalam pengelolaan sekolah.
  • Meningkatkan kualitas tenaga pendidik melalui wadah K3S, MGMP dan KKG.
  • Mengembangkan budaya literasi sekolah, termasuk lewat majalah dinding peserta didik dan guru.
  • Memonitoring dan mengevaluasi berkala implementasi manajemen pembelajaran oleh para guru.
  • Membiasakan para guru menyusun karya tulis dan mempresentasikan dalam kegiatan akademik semesteran bersama peserta didik.
  • Membangun kolaborasi yang baik dengan berbagai pihak, termasuk orangtua murid, para guru, pihak yayasan, pemerintah, alumni serta selalu berupaya belajar terus-menerus untuk meningkatkan kompetensi managerial, sosial, supervisi, kewirausahaan dan kepribadian.
  • Membudayakan hidup sehat dan cinta lingkungan, misalnya melalui “Jumat bersih” yang melibatkan semua warga sekolah.
  • Memperkuat kapasitas dan kapabilitas tenaga pendidik dalam mewujudkan pendidikan inklusif berbasis empat pilar kebangsaan, termasuk terhadap peserta didik berkebutuhan khusus.

Guru:

  • Membiasakan ekspresi nilai-nilai kekatolikan dalam interaksi akademik dan non akademik.
  • Melaksanakan kegiatan rohani di sekolah, seperti doa harian dan literasi Kitab Suci.
  • Dalam rangka mendukung budaya literasi, membiasakan peserta didik membaca dan meringkas paling kurang satu buku dalam sebulan.
  • Meningkatkan kompetensi kepribadian, pedagogi, sosial dan profesional, dengan belajar terus-menerus dan menempa diri melalui pelatihan-pelatihan.
  • Mengembangkan pola pembelajaran yang menumbuhkan daya kritis, kreatif, inovatif, reflektif, kemampuan berkolaborasi dan kesediaan berdialog dalam diri peserta didik.
  • Mengintegrasikan nilai-nilai moral ke dalam proses pembelajaran agar peserta didik tidak hanya melek secara teknologi tetapi juga berkembang menjadi manusia berkarakter yang mampu menggunakan teknologi dengan bertanggung jawab.

2. MPK

  • Memaksimalkan perhatian terhadap LPK-LPK, termasuk pendampingan dalam perumusan visi dan misi.
  • Menggelar kegiatan-kegiatan yang terarah pada peningkatan kompetensi para para penyelenggara, pengelola dan guru.
  • Membangun kerja sama dengan  pemerintah dan menghidupkan kegiatan MGMP dan KKG.
  • Memberi perhatian pada kaderisasi awam untuk menangani LPK.
  • Membuat kalender pendidikan.

3. MNPK

  • Menginisiasi kegiatan-kegiatan peningkatan kompetensi para penyelenggara, pengelola dan guru.
  • Membangun komunikasi dengan pemerintah untuk memperjuangkan kepentingan LPK.

4. Mitra: Pemerintah dan Masyarakat

  • Membangun sinergi untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan di LPK.
  • Menjamin keberlangsungan eksistensi LPK dengan membatasi pembukaan sekolah-sekolah negeri di sekitar LPK yang ada.
  • Mengalokasikan dana, sarana prasarana dan ketenagaan untuk mendukung keberlangsungan LPK.
  • Menyiapkan peraturan daerah bidang pendidikan yang menjadi payung hukum penyelenggaran pendidikan yang berbasis konteks lokal.

5. Tim Kerja MPK Flores-Lembata

  • Membangun kerja sama dengan MPK-MPK untuk menjamin pelaksanaan rekomendasi dalam Konferensi Sekolah-sekolah Katolik Flores-Lembata.
  • Bersama MPK, membangun komunikasi dengan pemerintahn daerah untuk mewujudkan rekomendasi konferensi.
  • Mengkoordinasi pelaksanaan konferensi lanjutan.

Penutup

Konferensi ini memiliki harapan bahwa sebagai bagian dari satu keluarga, sekolah-sekolah Katolik Flores-Lembaga bisa bergerak bersama untuk menyikapi tantangan-tantangan di masa kini dan di masa depan. 

Upaya refleksi, diskusi dan perumusan strategi-strategi selama konferensi, yang masih harus diterjemahkan sesuai konteks di MPK dan LPK masing-masing, menjadi titik tolak untuk melangkah maju demi melakukan transformasi.

LPK tentu saja mesti selalu menyadari bahwa proses pendidikan yang dilakukan senantiasa terarah pada upaya membentuk manusia utuh, yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga menjiwai nilai-nilai kekatolikan, sehingga menjadi pribadi yang cakap sekaligus memiliki kepedulian terhadap sesama dan lingkungan hidup.

Labuan Bajo, 22 Juni 2019

Ketua Presidium MNPK

Pastor Dr Vinsensius Darmin Mbula OFM

Ketua MPK Regio Nusa Tenggara

Romo Aster Lado Pr

Previous Post

Mewujudkan Peradaban Kasih Persaudaraan di Era 4.0: Hasil Seminar dan Lokakarya MNPK, Parapat 22-25 Mei 2019

Next Post

Ikut Lomba di Thailand, Gita Assisi Choir Raih Prestasi

Related Posts

MNPK Terbitkan Protokol Tatanan Normal Baru Bagi Sekolah Katolik

09/06/2020

KWI Beri Masukan Kepada DPR RI Perihal Pembelajaran Jarak Jauh di Tengah Pandemi Covid-19

08/04/2020

Sikap MNPK Terkait Pandemi COVID-19

24/03/2020

Romo Darmin Mbula, OFM Kembali Terpilih Sebagai Ketua Presidium MNPK

28/02/2020

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Bidang
  • Pengurus Periode 2020-2023
  • Hubungi Kami
Telepon: + 6221-31922082

© 2019 MNPK - Alamat: Gedung KWI Lt. 2, Jl. Cikini 2 No. 10, RT 12/RW 05, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat

No Result
View All Result
  • MNPK
  • MPK
  • Opini
  • Galeri
  • Oase MNPK

© 2019 MNPK - Alamat: Gedung KWI Lt. 2, Jl. Cikini 2 No. 10, RT 12/RW 05, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat