[JAKARTA] Merespon sejumlah usulan, juga persoalan yang diadukan oleh MPK-MPK terkait sertifikasi kepala sekolah, MNPK menggelar audiensi dengan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) pada Senin, 28 April 2019.
Audiensi itu menjadi kesempatan untuk mengklarifikasi, sekaligus meminta arahan terkait pelaksaanaan kebijakan Kemendikbud yang telah digariskan dalam Permendikbud No 6 Tahun 2018 Tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah dan Surat Edaran Dirjen GTK Nomor 18356 Tahun 2018 Tentang Penugasan Kepala Sekolah.
Dari MNPK, yang hadir adalah Ketua Presidium, RD Vinsensius Darmin Mbula OFM, dua Anggota Presidium, RD Edi Menori dan Fr Monfoort Mere BHK, Sekertaris Theo Wargito serta pemerhati pendidikan Doni Koesoema. Selama pertemuan yang berlangsung dua jam itu, Dirjen GTK, Supriano didampingi Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, Sri Renani Pantjastuti.
Aspirasi MNPK
Dalam dialog, Romo Darmin menyatakan bahwa pada prinsipnya MNPK mengapresiasi komitmen Kemendikbud untuk meningkatkan kompetensi para kepala sekolah dengan sejumlah kewajiban, termasuk pendidikan dan pelatihan (Diklat) untuk mendapat Nomor Unik Kepala Sekolah (NUKS). MNPK, kata dia, berada dalam arus yang sama mendukung upaya itu.
“Saat ini, LPK sedang berusaha memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam Permendikbud, di mana sekitar 5 persen dari 5.000-an kepala sekolah sudah mengikuti Diklat, sementara yang lainnya sedang dalam proses,” katanya.
Bahkan, kata dia, ada MPK, seperti di MPK Malang yang sudah membuat MoU dengan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) untuk penyelenggaraan Diklat.
Ia menambahkan, MNPK mengusulkan agar pelaksanaan Permendikbud itu dilakukan secara bertahap, mengingat jumlah sekolah di Indonesia sangatlah banyak dan tidak sebanding dengan jumlah instansi atau pihak yang berwewenang memberikan Diklat.
Karena itu, LPK keberatan dengan sanksi yang disampaikan dalam Surat Edaran Dirjen GTK bahwa kepala sekolah yang belum memiliki NUKS, kedudukannya tidak sah, dengan sejumlah konsekuensi yakni tidak bisa menandatangani rapor, sekolahnya tidak mendapat dana BOS dan sebagainya.
“Mohon sanksi ini dipertimbangkan, mengingat deadline-nya yaitu dua tahun pasca dikeluarkannya Permendikbud makin dekat (sekitar Maret 2020), sementara masih banyak kepala sekolah yang belum mengikuti Diklat,” katanya.
Ia juga menyatakan, berdasarkan keluhan dari LPK di berbagai daerah, biaya Diklat terlalu mahal, bahkan ada yang hingga belasan juta. “Karena itu, MNPK berharap agar biaya pelatihan dibuat lebih murah dan butuh kejelasan dari Dirjen GTK terkait hal ini,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Pater Darmin juga menanyakan kemungkinkan MNPK memiliki lembaga Diklat sendiri yang kemudian berkolaborasi dengan Dirjen GTK. Lembaga tersebut tidak hanya fokus pada pelatihan kepala sekolah, tetapi juga untuk guru-guru.
Romo Edi menambahkan, pengalaman konkret di daerah, banyak regulasi dari tingkat pusat yang malah tidak diketahui oleh pemerintah daerah. Terkait Permendikbud ini, misalnya, ada Pemda yang baru mengetahuinya dari MPK.
“Karena itu, penting membangun sinkronisasi kebijakan antara pusat dan daerah agar implementasinya tidak membingungkan. Saat ini di daerah prakteknya variatif sekali. Misalnya, ada bupati yang mengangkat kepala sekolah untuk sekolah swasta,” katanya.
Sementara itu Theo Wargito menginformasikan bahwa dalam kesempatan pertemuan hari studi di Jayapura pada November 2018, Mendikbud Muhadjir Effendy sempat melontarkan wacana bahwa para kepala sekolah di LPK yang memiliki NUKS akan mendapat NUKS secara gratis sebagai ‘hadiah Natal.’
“Selama ini kami terus berkomunikasi dengan staf khusus menteri terkait realisasi hal itu, di mana kami sudah mengirim daftar setidaknya 350 kepala sekolah yang belum memiliki NUKS dan dijadwalkan mengikuti Diklat di Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LP2KS) Solo. Namun, menurut informasi, 350 kepala sekolah itu masih masuk dalam antrian untuk Diklat,” katanya.
Tanggapan Dirjen GTK
Dalam tanggapannya, Dirjen GTK menyampaikan terima kasih atas upaya MNPK mendialogkan masalah ini, agar bisa sama-sama saling memahami demi kemajuan dunia pendidikan. Ia mengatakan, saat ini mereka sedang melakukan pembenahan, pendisiplinan untuk para kepala sekolah.
Ia menjelaskan, ada 311 ribu kepala sekolah di seluruh Indonesia dan dari jumlah tersebut 230 ribu di antaranya belum memiliki NUKS, baru 81 ribu yang sudah memiliki NUKS. “Salah satu akar permasalahannya adalah kepala sekolah yang diangkat, jurusannya tidak linear, sehingga tidak memiliki NUPTK. Kami belum mengecek, dari jumlah itu, berapa sekolah negeri dan berapa sekolah swasta,” katanya.
Ia menjelaskan, semua sekolah mesti mengangkat kepala sekolah sesuai aturan, agar tidak menghadapi kendala. “Kalau tidak linear, tidak memiliki sertifikat pendidik lebih baik jangan, karena akan jadi masalah. Kepala sekolah yang tidak memiliki NUPTK sudah pasti tidak akan bisa mengikuti Diklat untuk mendapat NUKS,” katanya.
Terkait penyelenggara Diklat, ia menyatakan, mereka mengontrolnya dengan ketat. Saat ini ada 71 lembaga Diklat yang sudah diberi izin, ada yang milik pemerintah, ada juga milik swasta. Karena itu, kata dia, untuk mengikuti Diklat, tidak harus ke LP2KS Solo, tetapi bisa dilakukan di daerah. “Sekolah-sekolah di Papua misalnya, bisa mengikuti Diklat di LPMP di sana,” katanya.
Terkait keluhan biaya yang terlampau mahal, kata dia, sudah sering disampaikan ke pihaknya. “Ada memang yang menjadikan ini sebagai lahan untuk mengeruk keuntungan. Bahkan, ada yang pungutannya sampai belasan juta. Honor pengajar ada yang hingga 900 ribu per jam,” kata Dirjen Supriano.
Karena itu, kata dia, pihaknya sudah menetapkan bahwa biaya Diklat hanya Rp 1,6 juta per peserta. Biaya itu untuk materi dan honor tutor, tetapi belum termasuk akomodasi. “Tambahan untuk akomodasi, silahkan disepakati sendiri. Intinya, tidak ada lagi biaya 8, 12, 15 juta,” katanya.

Untuk menjamin terkontrolnya proses Diklat, kata dia, kini tanda tangan sertifikat kepala sekolah yang dinyatakan lulus, langsung oleh Dirjen, yang dikontrol dengan barcode. Ia menekankan bahwa prinsipnya Diklat bukan sekedar untuk mendapat NUKS, tetapi yang terpenting adalah kepala sekolah kemudian memiliki kompetensi yang memadai.
Menanggapi pertanyaan terkait kemungkinan MNPK menggelar Diklat sendiri, ia menyatakan, hal itu sangat terbuka. Namun, semua persyarakat mesti disiapkan, yang kemudian akan dikanji oleh tim dari LP2KS Solo.
“Semakin banyak lembaga, akan semakin bagus, karena itu berarti MNPK bisa menyelesaikan sendiri masalah. Sekolah-sekolah NU sudah punya lembaga sendiri, demikian juga Muhammmadiyah, ada 10, yaitu di universitas-universitas mereka. Katolik bisa saja memanfaatkan universitas-universitas Katolik,” jelasnya.
Perihal surat edaran yang oleh MNPK disebut “mencemaskan” banyak sekolah, ia memberi sinyal bahwa sejumlah sanksi yang dicantumkan dalam surat itu adalah bagian dari gertakan. “Kalau tidak digertak, maka yayasan akan cuek saja,” katanya.
Mengakhiri pertemuan itu, MNPK memutuskan akan mendorong MPK-MPK membuat MoU dengan 71 lembaga Diklat yang disahkan oleh Dirjen GTK, seperti yang sudah dibuat MPK Malang, demi mempercepat pelaksanaan Diklat.***
Setelah membaca aritikel di atas,saya sebagai kepala sekolah TK setuju ,regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat sebaiknya di tinjau kembali. Bagaimana solusinya juga bagi guru-guru PNS yang menjabat kepala sekolah di TK yang di angkat oleh yayasan ( Swasta ) ? otomatis mereka tidak bisa untuk menandatangani rapor ,ijazah dikarenakan kepala sekolah yang bersangkutan tidak mempunyai NUKS.
Sedangkan yang boleh mengikuti diklat adalah :
– Kepala sekolah (PNS )yang diangkat oleh pemerintah, yang ditempatkan di
sekolah negeri ataupun swasta.
– Kepala sekolah swasta(Non PNS ) yang di angkat oleh yayasan