Oleh: INDRA CHARISMIADJI
Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada 2045 karena jumlah angkatan kerja usia produktif lebih banyak daripada jumlah masyarakat nonproduktif. Kondisi ini bagaikan dua sisi pedang yang berlainan. Di satu sisi, ini merupakan hal yang positif karena Indonesia memiliki potensi produktivitas besar. Akan tetapi di sisi lain, kondisi ini akan menjadi malapetaka yakni menjadi bencana demografi. Jika angkatan kerjanya tidak disiapkan, maka akan memicu masalah-masalah baru.
Bagaimana kita menyiapkan generasi muda, yang saat ini disebut dengan generasi Alfa? Bagaimana pula upaya kita menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0?
Pada dasarnya Revolusi Industri 4.0 adalah era dimana kita mengenal semakin banyaknya penggunaan gawai, robot (otomasi), kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), analisa Big Data, dan lain sebagainya. Atau dengan kata lain, kehidupan yang serba digital.
Banyak perubahan / disrupsi yang terjadi di era ini seperti: Grab / Uber adalah perusahaan taxi tingkat dunia yang tidak memiliki taxi; AirBnB adalah perusahaan penginapan yang tidak memiliki hotel / tempat menginap; Facebook adalah perusahaan media tingkat dunia yang tidak memiliki konten.
World Economic Forum pada tahun 2018 membuat sebuah laporan berjudul Future of Jobs Report. Dalam laporan itu, disebutkan akan banyak sekali pekerjaan yang akan hilang dan akan muncul pekerjaan-pekerjaan baru yang belum ada sebelumnya. Bahkan dilaporkan bahwa 65 persen siswa yang sedang duduk di bangku sekolah dasar (SD) saat ini, akan bekerja pada bidang-bidang yang hari ini belum tercipta.
Laporan yang sama juga dibuat oleh perusahaan konsultan terkenal yakni McKinsey, yang juga menyebut akan banyak pekerjaan yang hilang tetapi disaat yang sama juga akan muncul pekerjaan baru. Laporan yang dibuat McKinsey and Company pada tahun 2017 itu menyebutkan 15 persen pekerjaan manusia akan digantikan otomasi pada 2030.
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa tantangan yang dihadapi generast muda saat ini sangat berbeda dengan generasi terdahulu.
Kompetensi Inti Edukasi 4.0
Para pendidik di tingkat internasional sepakat ada beberapa kompetensi yang dibutuhkan menghadapi tantangan Revolusi Indoustri 4.0. Pertama adalah literasi, yakni kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Terlihat sederhana, tetapi tantangan bagi bangsa Indonesia, karena berdasarkan kajian Literasi Dunia, Indonesia menempati posisi 60 dari 61 dunia. Bahkan kajian dari INAP yang terpampang di laman Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Kemendikbud menunjukkan kemampuan yang rendah.
Kompetensi kedua yang dibutuhkan adalah Higher Order Thinking Skill (HOTS) atau kemampuan bernalar ditingkat yang lebih tinggi. HOTS dilandasi oleh taksonomi pembelajaran yang dicetuskan Benjamin S Bloom, pada 1956. Taksonomi tersebut kemudian direvisi oleh murid Bloom, yakni Lorin Anderson pada 2001 yang mengkelompokkan keterampilan berpikir atau kemampuan kognitif manusia dari tingkatan paling rendah ke paling tinggi.
Terdapat enam tingkatan kemampuan berpikir tersebut, dimulai dari yang paling rendah, yakni menghafal (remembering), kemudian memahami (understanding), menerapkan (applying), menganalisis (analyzing), menilai (evaluating), dan tingkatan yang paling tinggi adalah mencipta (creating).
Kemampuan berpikir menghafal, memahami, dan menerapkan disebut dengan keterampilan berpikir tingkat rendah, sedangkan untuk kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan, termasuk ke dalam kategori kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Lalu, apa perbedaan antara satu tingkatan ke tingkatan lainnya. Mari kita ambil contoh yang sederhana, yakni membuang sampah di tempatnya. Ini merupakan contoh positif dan bagian dari pendidikan karakter, tetapi tindakan manusia satu dan yang lainnya akan berbeda, tergantung pada kemampuan berpikirnya.
Pada tingkat kemampuan menghafal, yang bersangkutan belum mengenal konsep membuang sampah di tempat sampah dan konsep tersebut akan dipelajari dengan cara menghafal. Kondisi ini kerap kita jumpai pada anak-anak kecil yang belum mengenal konsep membuang sampah di tempatnya. Begitu ditanya di mana buang sampah, mereka mungkin tidak tahu jawaban ataupun memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan harapan, karena masih dalam tahap pengenalan.
Tingkatan selanjutnya adalah memahami. Anak-anak hasil pendidikan kita, baru mampu di level memahami, kalau mereka ditanya, di mana harus membuang sampah, maka mereka akan menjawab di tong sampah. Jawaban tersebut benar, tetapi mengapa sampai sekarang kita masih melihat sampah berserakan di mana-mana. Artinya mereka paham dalam tingkat teori, tetapi dalam tindakan mereka belum mampu atau mau melakukannya.
Diatas memahami, di sinilah disebut tingkat aplikasi. Setelah paham membuang sampah di tempat sampah, mereka juga mau dan mampu membuang sampah di tempatnya. Walaupun mereka sudah benar-benar membuang sampah di tempat sampah, tetapi di dalam tingkat berpikir mereka, pemahaman mengapa harus membuang sampah di tempatnya belum dimiliki. Apabila ditanya mengapa buang sampah di tempatnya, kemungkinan besar jawabannya karena disuruh atau perintah. Kalau tidak membuang sampah di tempatnya, nanti akan dihukum atau didenda. Jadi, tingkat kesadaran mereka atas aksi yang dilakukan hanya sebatas melakukan suatu kebiasaan, perintah, atau aturan, tanpa paham mengapa dilakukan dan apa akibat yang akan terjadi terhadap tindakan tersebut.
Dari penjelasan di atas sekarang kita sudah bisa lihat tiga level berpikir manusia dengan konteks yang sama, tetapi sudah sangat berbeda sekali cara berpikirnya.
Selanjutnya, satu tingkat yang lebih atas dari aplikasi adalah analisis. Mereka yang berpikir pada tingkat analisis akan mampu menjelaskan mengapa sampah harus dibuang di tempatnya. Jika sampah dibuang sembarangan akan menimbulkan penyakit, kotor, tidak nyaman dipandang, bau, akan menyumbat saluran air, dan sebagainya. Pada tingkat berpikir ini, mereka sudah tahu sebab dan akibat dari setiap tindakan yang dilakukan.
Tingkat selanjutnya dalam keterampilan berpikir adalah evaluasi. Anak-anak yang memiliki kemampuan berpikir ini akan melihat sampah bukan sekadar harus dibuang di tempatnya, tetapi bisa mengevaluasi sampah dari berbagai ragamnya. Ada yang mudah didaur ulang dan ada juga yang sulit sekali didaur ulang, seperti sampah plastik. Oleh karenanya, mereka memisahkan sampah-sampah tersebut berdasarkan jenis, mulai dari sampah kertas, plastik, botol dan lainnya. Di level ini mereka mampu mengevaluasi tindakan dan mulai memikirkan cara-cara lain untuk memperbaiki tindakan-tindakan yang dilakukan apabila belum mendapatkan hasil yang diharapkan.
Tingkat berpikir paling tinggi dalam HOTS adalah kreasi. Di sinilah manusia mampu menciptakan hal baru yang belum ada. Dalam konsep membuang sampah di tempatnya, mereka bisa mendaur ulang sampah dan menjadikan sampah organik sebagai pupuk kompos, membuat aplikasi pembuangan sampah hingga melakukan pengaturan jadwal buang sampah.
Kompetensi ketiga adalah kecakapan abad 21 yakni kritis dalam berpikir dan bertindak, kolaborasi, komunikasi, dan kreatifitas. Kurikulum 2013 sudah memasukkan konsep ketrampilan abad 21 tetapi implementasi di kelas masih menjadi kendala.
Kompetensi keempat adalah berpikir komputasional. Konsep ini dicetuskan oleh Prof. Jeannette M. Wing dari Carnegie Mellon University, Amerika Serikat. Konsep ini menggabungkan pemikiran kritis ditambah memiliki kemampuan komputasi yang baik ditambah pemafaatan teknologi.
Masuknya Informatika dalam Kurikulum Nasional
Pemerintah pusat melalui Kemdikbud telah mengambil sebuah langkah progresif dengan menerbitkan Permendikbud no. 35, 36, dan 37 tahun 2018 mengenai mata pelajaran Informatika. Banyak pihak berpikir bahwa Informatika itu sama dengan TIK / computer. Ini adalah pandangan yang keliru karena Informatika tidak mengajarkan siswa untuk menggunakan komputer alias pencet tombol melainkan belajar untuk bernalar tinggi (HOTS), kritis dalam berpikir / bertindak, kolaboratif, komunikatif, dan kreatif, serta mampu berpikir komputasional melalui pembuatan game / aplikasi / software / solusi teknologi.
STEAM yang merupakan integrasi dari ilmu sains, teknologi, rekayasa, seni dan matematika adalah dasar ilmu dari mata pelajaran Informatika. Implementasi pendidikan STEAM sudah sangat mendunia, Indonesia termasuk yang paling lambat mengadopsinya. Inggris adalah negara pertama yang menerapkan mata pelajaran ini secara nasional dengan nama Coding. Di Amerika Serikat, menggunakan nama Computer Science merupakan program kerja 2 President (Obama dan Trump) yang dibuat berkesinambungan. Disusul Finlandia, negara-negara Eropa, Rusia, Tiongkok, Australia, Singapura, dan lain sebagainya juga meluncurkan program pendidikan STEAM ini.
Implementasi untuk tingkat SD, mata pelajaran Infomatika masuk sebagai alat pembelajaran tematik, muatan lokal atau ekstra kurikuler. Untuk SMP, masuk menjadi pilihan pengganti prakarya dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran per minggu. Untuk SMA sederajat masuk ke dalam lintas minat, bisa pilihannya sebanyak tiga hingga empat jam pelajaran per minggu. Untuk SMK menggunakan mata pelajaran simulasi digital yang telah direvisi.
Sayangnya, kebijakan ini belum disosialisasikan dengan baik kepada pemerintah daerah, orang tua, dan masyarakat. Perlu adanya percepatan agar semakin cepat anak Indonesia memiliki akses kepada mata pelajaran masa depan ini dan memiliki daya saing tinggi.
Pelajaran ini juga menjadi jawaban atas kekhawatiran orang tua pada anak-anaknya yang kecanduan gawai / game online. Karena mereka akan dituntun untuk memanfaatkan teknologi secara produktif dan tidak lagi untuk hiburan semata. Besar harapan saya untuk sekolah-sekolah mulai mengajarkan Informatika di tahun ajaran 2019/2020.
Sahabat yang juga keponakan, sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka bukan hidup dizamanmu.” Hal yang senada juga disampaikan oleh John Dewey, seorang tokoh pendidikan terkemuka dari Amerika Serikat. Ini membuktikan bahwa dalam menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0, generasi penerus patut dibekali ilmu masa depan bukan masa lampau.
INDRA CHARISMIADJI adalah Pemerhati dan Praktisi Edukasi 4.0, Direktur Eksekutif CERDAS (Center of Education Regulations & Developments Analysis)