JAKARTA – MNPK menggelar Focus Group Discussion (FGD) pada Senin, 13 Agustus 2018, yang khusus membahas kebijakan pemerintah terkait zonasi.
FGD ini yang digelar di Aula Gedung KWI, Jakarta, mengkaji dampak kebijakan itu bagi sekolah-sekolah swasta.
Diskusi dipandu oleh Roy A Yusuf, pengurus Harian MNPK, dengan pembicara pemerhati pendidikan Doni Koesuma A; Ketua Presidium MNPK, Pastor Vinsensius Darmin Mbula OFM dan Sekertaris MNPK, Theo Wargito.
Peserta mencapai 50 orang yang merupakan perwakilan dari MPK Jakarta, MPK Bogor, MPK Maumere, MPK Denpasar, MPK Bandung dan MPK Tanjungkarang
Hadir pula dua orang staf dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Balitbang Kemendikbud), yakni Ibu Yufrida dan Ibu Yuni, yang bertugas melakukan riset dan analisis sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan oleh Kemendikbud.
Apa Itu Zonasi?
Doni menjelaskan, pada era politik seperti saat ini, di saat banyak kabar simpang siur pada media seperti whatsapp, kebijakan tentang zonasi banyak disalahpahami.
Yang jelas, kata dia, inti dari kebijakan zonasi adalah menetapkan agar sekolah menerima minimum 90% siswa pada zonanya, 5% dari jalur prestasi dan 5% untuk siswa pindahan dari zona lain yang wilayahnya terkena bencana.
Tujuan atau spirit dari kebijakan ini, kata dia, adalah untuk pemerataan atau distribusi akses dan mutu pendidikan hingga ke daerah-daerah, melayani tanpa membedakan anak apapun keadaannya, yang pintar atau sebaliknya, juga yang mampu secara ekonomi atau sebaliknya.
“Adanya zonasi juga dapat menghilangkan eksklusivitas sekolah negeri,” jelasnya.
Rencana melibatkan sekolah swasta dalam kebijakan zonasi, kata dia, berangkat dari pemikiran bahwa sekolah swasta cenderung sepi dan muridnya sedikit karena banyak yang memilih masuk sekolah negeri, meski yang terjadi di lapangan tidak semua seperti itu.
Namun, kata dia, di sisi lain, ada juga kekhwatiran bahwa jika sistem ini diterapkan, maka sekolah swasta tertentu bisa-bisa tidak mendapat murid.
“Contohnya, Sekolah De Britto di Yogyakarta, yang kurang lebih 80% siswanya berasal dari seluruh Indonesia. Kalau zonasi ini dia terapkan, maka sekolah akan kekurangan murid, karena hanya dapat menyerap sekitar 7% siswa,” katanya.
Ia menerangkan, untuk sekarang, pada prinsipnya jika sistem ini diterapkan juga untuk sekolah swasta, pihak sekolah diberi kebebasan untuk memilih menjalankannya atau tidak.
Sharing Pengalaman
Dalam sesi diskusi, perwakilan dari MPK-MPK membagi pengalaman konkret di wilayah masing-masing. Dari hasil sharing itu, ada perbedaan pandangan juga terkait perlu tidaknya sistem zonasi.
Robby Keupung dari MPK Maumere, misalnya mengatakan, di daerahnya, ada sekolah negeri yang menambah jumlah siswa dalam satu rombel hingga 42 siswa.
“Hal ini terjadi sebab yang mendaftar ke sekolah tersebut masih cukup banyak,” katanya.
Di sisi lain, kata dia, sejumlah sekolah swasta kekurangan jumlah murid, malah ada yang harus “mengakali” jumlah rombelnya pada Dapodik.
“Contohnya, secara fakta hanya ada 4 rombel, tetapi karena aturannya harus punya 6 rombel, maka pada Dapodik ditambah 2 ‘kelas hantu’ (virtual class) agar sesuai,” katanya.
“Kalau tidak sesuai 6 rombel, guru sekolah swasta tersebut tidak akan mendapatkan sertifikasi karena kurangnya jumlah jam mengajar.”
Perwakilan dari Bogor, Depok, dan Jakarta mengungkap apa yang mereka sebut sebagai “penculikan murid” dari sekolah swasta ke sekolah negeri, yang memang tidak hanya terjadi di sekolah Katolik saja, melainkan juga di sekolah Muslim dan sekolah swasta lainnya.
Praktek itu, kata mereka, terjadi ketika pada semester 2 atau pada semester 3, murid-murid yang sudah diterima di sekolah swasta ditelepon oleh sekolah negeri bahwa mereka masih memiliki kuota.
Senada dengan hal ini, Sigit dari Yayasan Tarakanita menambahkan, kurang lebih 30 orangtua siswa dari siswa yang “hilang” dari sekolah mereka memberikan alasan kepindahan yang sama, yaitu “karena anak kami diterima di sekolah negeri, berdasarkan sistem zonasi.” Ada yang pindha saat para siswa sudah mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) selama sepekan.
Meski tidak semua sekolah negeri melakukan praktik demikian, pada kenyataannya hal tersebut terjadi dan cukup meresahkan karena mengesankan sekolah negeri begitu “rakus” untuk mendapatkan banyak murid, sampai “menculik” siswa yang sudah diterima di sekolah swasta dan menambah jumlah rombelnya, bahkan sampai ada yang membuat “kelas terbuka” seperti universitas.
Praktek ini dinilai sebagai salah satu faktor yang membuat sekolah swasta tidak dapat memenuhi kuotanya, karena potensial murid diambil oleh sekolah negeri.
Pengalaman serupa juga dialami Sekolah Bintang Kejora di Cengkareng. Mereka pun tak luput dari masalah “penculikan” siswa, baik saat semester 2 maupun saat tingkat 2.
Yayasan Bunda Hati Kudus, sebagaimana disampaikan oleh L. Supriyadi juga mengeluhkan kekurangan siswa. Banyak sekolah mereka yang berada di Cengkareng dan Kalideres, yang berdekatan dengan sekolah negeri, merasakan hal yang sama seperti yang dialami oleh Sekolah Bintang Kejora.
Perwakilan dari Budi Mulia menjelaskan, beberapa alasan orangtua memilih sekolah negeri ketimbang sekolah swasta adalah karena SPP-nya yang gratis, sehingga uangnya dapat ditabung untuk masuk perguruan tinggi dan kabar bahwa kesempatan terpilih dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan lebih besar daripada swasta.
Tidak Semua
Namun, tidak semua sekolah mengalami kekurangan murid.
Perwakilan dari Bogor misalnya, menyatakan sekolahnya justru memiliki lebih siswa dalam 1 rombel yang ditetapkan, yaitu 30 dari 28, dan tidak mungkin untuk “membuang” 2 siswa yang lebih tersebut.
Hal yang sama terjadi pada Sekolah Charitas di Pondok Labu, di mana mereka biasa mengelola 36-37 siswa dalam 1 rombel, tetapi dengan adanya peraturan maksimum 28 siswa dalam 1 rombel, timbul kebingungan tentang apakah anak yang datang harus ditolak atau tidak.
Mardi Yuana Depok juga mengaku masih dapat “menolak” sejumlah siswa yang mendaftar. Namun, mereka tetap membuat agar jumlah siswa yang diterima dilebihkan dari ketentuan rombel yang ada, untuk mengantisipasi siswa yang seringkali “menghilang” saat MPLS atau sebulan setelah tahun ajaran baru dimulai.
Meski tahun ajaran baru sudah berjalan kurang lebih 1 bulan dan belum ada siswa yang “menghilang”, bukan tidak mungkin hal tersebut akan terjadi saat naik kelas nanti, karena kenyataannya hal itu pernah terjadi.
Apapun alasannya, menurut perwakilan dari Yayasan Charitas, kehilangan murid sesedikit apapun sangat berarti bagi sekolah swasta, terutama dampaknya terhadap dana operasional.
Usulan untuk Pemerintah
FGD ini sampai pada sejumlah usulan untuk pemerintah.
Pertama, sekolah swasta sebaiknya tetap diberi kebebasan untuk memilih akan ikut serta dalam kebijakan zonasi atau tidak. Ada sekolah-sekolah tertentu yang tidak bisa memakai sistem zonasi. Contohnya, Sekolah Santa Maria di Jakarta Pusat, tidak mungkin menerapkan sistem zonasi, sebab murid-muridnya berasal dari Depok, Tangerang, dan wilayah lain yang bahkan di luar Jakarta. Selain itu, ada pula yang meski masih di Jakarta, tetapi radiusnya sudah di luar zonasi, misalnya murid-murid yang berasal dari Glodok, Mangga Dua dan Sunter.
Kedua, pemerintah diharapkan dapat memberikan “batasan” bagi sekolah negeri, misalnya dalam hal jumlah rombel, tidak boleh melebihi aturan yang telah ditentukan. Hal ini bisa berjalan jika saja dari aplikasi Dapodik dapat mengunci (“lock”) maksimum rombel, sehingga tidak bisa ditambahkan lagi jika sudah maksimum. Hal ini juga konsisten dengan standar Permendikbud. Jika Pemerintah tidak membatasi ruang kelas, maka sangat menyulitkan sekolah swasta, terutama yang berada di daerah.
Ketiga, Pemda perlu mempertimbangkan keadaan sekolah-sekolah swasta yang ada pada wilayahnya. Misalnya jika di suatu daerah terdapat sekian banyak jumlah sekolah swasta, perlu dipikiran cara agar mereka tidak kekurangan murid.
Keempat, Pemerintah perlu membatasi pertumbuhan sekolah di zona yang sudah padat. Jika alasan pembangunan sekolah adalah karena banyak siswa tidak tertampung, hal tersebut sebetulnya terjadi di negeri, dan bukan di swasta. Perlu juga kerja sama antara sekolah swasta dengan sekolah negeri dalam satu wilayah, agar sepakat saling terima siswa yang berasal dari PPDB saja. Jangan sampai murid sekolah swasta “diambil” lagi oleh sekolah negeri.
Kelima, Jika pada akhirnya sekolah swasta juga menerapkan sistem zonasi, perlu ada integrasi dalam sistem PPDB. Jadi sekolah negeri dan sekolah swasta berada dalam satu platform, sehingga tidak ada yang “ketinggalan”, karena tanggal buka dan tutup pendaftaran disamakan.
Keenam, Jika memang salah satu tujuan zonasi adalah berangkat dari pemikiran bahwa sekolah swasta cenderung sepi dan muridnya sedikit, maka kelebihan kuota pada sekolah negeri harus disikapi dengan baik. Contoh kasus, jika kuota SMA N 1 hanya 100, tetapi yang daftar ada 200, maka 100 sisanya dapat disalurkan pada sekolah swasta. Apabila orangtua yang bersangkutan keberatan karena kesulitan biaya, maka pemerintah pusat atau daerah dapat membantu untuk membiayai mereka, ketimbang membangun lagi sekolah-sekolah negeri yang baru. Hal ini penting sebab yang terjadi di lapangan saat ini adalah, misalnya di Cianjur atau Sukabumi, kelebihan kuota sekolah negeri biasanya dialihkan ke sesama sekolah negeri lainnya. Contohnya, jika tidak muat di SMA N 1, maka ke SMA N 2; SMA N 2 tidak muat, maka ke SMA N 3, dst.
Ketujuh, Kebijakan ini mungkin diterapkan secara nasional tetapi juga dengan sistem “zona.” Maksunya, hanya wilayah-wilayah tertentu saja yang menerapkannya, yang memang dinilai akan membawa dampak positif, mengingat ada juga daerah yang akan merasakan hal sebaliknya. Karena itu, perlu ada pemetaan.
Untuk Sesama MPK
Pertama, Bekerja sama dengan sesama sekolah Katolik, jangan malah “rebutan” murid. Sekolah-sekolah Katolik mesti tetap terbuka untuk menerima siswa dari agama lain, karena akan menjadi kesempatan bagi anak-anak yang berbeda agama itu untuk dapat mengenal Kristus. Jika sekolah-sekolah Katolik menerapkan kebijakan zonasi, maka kesempatan sekolah untuk menerima siswa non-Katolik akan lebih besar.
Kedua, Bekerja sama dengan sekolah negeri yang berada dalam satu zonasi.
Ketiga, Memiliki strategi yang lebih kreatif untuk menjaring murid baru, agar tidak kalah dengan strategi-strategi sekolah swasta umum/berbasis keagamaan lainnya, sebab terkait kebijakan zonasi bagi sekolah swasta ini, mereka (sekolah swasta lain) pun pasti juga sudah memikirkan rencana sendiri agar tidak kekurangan murid dan dapat tetap beroperasi.
Keempat, Menggandeng grup-grup diskusi yang lain, misalnya dari Yasayan-yayasan Kristen atau Muslim.
Kelima, PPDB dibuka lebih awal dan tetap dibuka terus meski tahun ajaran baru sudah dimulai, terutama untuk sekolah yang sering mengalami kekurangan murid.
Keenam, kita belajar membangun relasi yang baik dengan pembuat kebijakan, sehingga jika ada pendapat terhadap kebijakan tertentu, dapat langsung disampaikan ke mereka. Gunakan semua relasi yang kita miliki. Selain itu, secara internal kita juga perlu membangun solidaritas dan sinergisitas.