mnpkindonesia.org- BAGAIMANA seorang pendidik bisa mengajar dengan baik apabila dievaluasi secara komersial?
Pertanyaan retoris tersebut dilontarkan Intan Suwandi PhD Sociology dari University of Oregon, pemateri kuliah tamu bertajuk Mengenal Nilai Kerja, Kamis (20/6/2017).
Dihelat di Laboratorium Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Malang (UM), Intan menerangkan mengenai bentuk nilai kerja dan eksploitasi kaum buruh, termasuk eksploitasi buruh di dunia pendidikan.
Intan berpendapat, kesalahan terbesar dalam sistem pendidikan adalah Komersialisasi dunia pendidikan.
Komersialisasi, sebut Intan, akan menjauhkan hakekat pendidikan yang notabene untuk memanusiakan manusia.
Dalam Komersialisasi pendidikan, pasti ada pemilik kepentingan yang berusaha menciptakan model komersial tersebut.
Parahnya apabila pendidikan sudah dikomersialkan, maka tujuan dari lembaga pendidikan adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya, bukan lagi mengembangkan nilai-nilai yang ada dalam diri peserta didik. Hal itu juga berjalin berkelindan dengan mentalitas peserta didik.
“Semakin mahal para peserta didik membayar biaya sekolah, pasti mereka akan merasa seperti konsumen yang bisa bertindak bagaikan raja karena merasa sudah membayar mahal!” tegas Intan.
Intan juga mengoreksi sistem International Organization for Standardisazion (ISO).
“Sesungguhnya, ISO merupakan bentuk kontrol birokrasi pada para pekerjanya, bukan semata-mata aturan!” jelasnya.
Penerapan ISO rata-rata digunakan perusahaan besar untuk meningkatkan nilai produksi suatu barang. Sesungguhnya perlu ditinjau kembali apabila ISO ini diterapkan di dunia pendidikan, khususnya apabila digunakan sebagai patokan dalam menilai kinerja pendidik.
Tenaga pendidik adalah jasa atau layanan yang lebih kompleks untuk melayani manusia, bukan mencetak barang. Mengajar sesungguhnya tidaklah salah, tapi sistemnya yang terkadang mematikan pendidik untuk bekerja lebih kreatif.
Intan juga menyinggung tentang eksploitasi para pekerja. “Pada dasarnya eksploitasi itu menuntut para pekerja untuk bekerja semaksimal mungkin dengan upah seminimal mungkin agar perusahaan meraih keuntungan maksimal!” tegasnya.
Gagasan tersebut juga berlaku pada dunia pendidikan. Lembaga pendidikan yang kerapkali menerapkan hukuman (punishment) pada para pekerjanya dengan tuntutan yang tinggi tanpa memberi apresiasi (reward) bisa disebut sebagai eksploitasi.
Sering kali, pendidik dituntut untuk membuat artikel ilmiah, publikasi karya, dan beragam inovasi menarik lainya dalam dunia pendidikan tapi lembaga tidak punya cara untuk mengapresiasinya.
Reportase ardi wina saputra
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang