JAKARTA, KOMPAS — Penerapan lima hari sekolah, yakni dari Senin hingga Jumat atau selama delapan jam per hari, yang akan dimulai pada tahun ajaran 2017-2018 atau Juli mendatang berlaku untuk semua sekolah. Namun, implementasinya bergantung pada kesiapan sekolah.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Senin (12/6), di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, mengatakan, peraturan menteri terkait pengaturan lima hari sekolah diterbitkan pada 9 Juni 2017.
Peraturan itu diberlakukan bersamaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Guru. Dalam aturan ini, beban tugas guru dialihkan sebagaimana aparatur sipil negara, yakni 37,5 jam per minggu atau 40 jam per minggu apabila waktu istirahat dihitung.
Perpanjangan jam pelajaran jadi delapan jam, kata Muhadjir, digunakan untuk program penguatan karakter yang tak melulu dilakukan di sekolah. Dengan demikian, aktivitas siswa tidak harus di kelas, di sekolah, atau diajarkan oleh guru sekolah.
“Untuk program penguatan karakter, sekolah bisa bekerja sama dengan lembaga pendidikan di luar sekolah, seperti madrasah diniyah, masjid, gereja, pura, atau sanggar kesenian. Jadi, delapan jam itu bukan sepenuhnya di kelas, bisa di luar, tetapi mata pelajaran tetap mengacu pada Kurikulum 2013,” tuturnya.
Tumbuh kembang
Namun, sejumlah orangtua murid menolak program tersebut. Selain sarana dan prasarana sekolah yang belum mendukung, program itu dinilai bisa menghambat tumbuh kembang serta keterampilan (soft skills) anak.
Rita Hidayati (40), warga Kota Semarang, Jawa Tengah, misalnya, mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali program sekolah sehari penuh. Dengan sistem pembelajaran sekarang saja, anak kerap terbebani banyak tugas dan hafalan pelajaran. Rita khawatir sekolah bukan lagi kegiatan menyenangkan, malah membebani anak.
“Waktu sekolah sebaiknya tidak menyita waktu bermain dan pengembangan diri,” kata Rita di Semarang, Senin. Ia memiliki empat anak yang masih duduk di bangku SD dan SMP.
Herjoko (50), warga Semarang lainnya, mengatakan, implementasi program sekolah sehari penuh harus diikuti kesiapan guru dan fasilitas sekolah. Guru yang tidak profesional hanya membuat siswa cepat lelah di kelas. Ia menyarankan tambahan waktu belajar khusus bagi siswa yang ingin meningkatkan kemampuan di bidang tertentu.
“Kurikulum tambahan waktu belajar harus jelas. Jangan hanya memindahkan jadwal dari hari Sabtu ke hari lain,” ujarnya.
Christiana (44), warga Sleman, DI Yogyakarta, juga khawatir kalau anaknya, Firra (14) yang akan naik ke kelas II SMP, tak punya ketahanan fisik yang cukup untuk bersekolah selama delapan jam. Ibu dua anak ini juga merasa rutinitas anaknya di luar sekolah dapat terganggu. “Kalau sekolahnya dari pagi sampai sore, anak saya akan sulit melanjutkan kursus balet dan melakukan kegiatan rutinnya di gereja,” ujarnya.
Muhadjir menegaskan, tidak ada tambahan beban pelajaran dalam perpanjangan jam pelajaran ini. “Sebetulnya malah saya ingin mengurangi mata pelajaran, diganti aktivitas, orang menyebutnya ekskul (ekstrakurikuler). Sebenarnya itu disebut pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA pada zaman Orde Baru),” katanya.
Secara terpisah, di Jakarta, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud Hamid Muhammad mengatakan, penerapan lima hari sekolah disesuaikan dengan kondisi lokal. Tujuan kebijakan ini adalah untuk memberikan libur Sabtu-Minggu kepada siswa agar dapat memiliki waktu berkumpul dengan keluarga dan mengisinya dengan kegiatan bermanfaat.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto mengatakan, pendidikan untuk anak-anak Indonesia jangan dengan sistem uji coba.
(ELN/INA/KRN/DIM)