Mnpkindonesia.org – Rencana mengenakan pajak terhadap lembaga–lembaga religius di Flipina, khususnya sekolah-sekolah Katolik, menuai kemarahan dari para pemimpin gereja dan pengelola-pengelola sekolah.
Rencana itu dianggap sebagai reaksi atas perlawanan Gereja terhadap rancang undang-undang yang memberlakuan kembali hukuman mati di negara mayoritas Katolik itu, demikian laporan Ucanews.com pada 8 Maret 2017.
“Rupanya, (Ketua Parlemen, Pantaleon Alvarez) sudah dikesalkan dengan posisi sekolah-sekolah tertentu terhadap rancangan undang-undang yang diusulkan, “ Kata Pastor Joel Tabora SJ, Ketua Asosiasi Pendidikan Katolik Filipina.
Pada tanggal 6 Maret, sebelum voting terakhir terhadap pengesahan rancangan undang-undang yang akan menghidupkan kembali hukuman mati, Alvarez meminta Departmen Keuangan untuk melengkapi Kongres dengan hasil pajak pendapatan lembaga-lembaga religius dalam 3 tahun terakhir.
Ia mengatakan, Gereja Katolik dan kelompok-kelompok religius lain seharusnya dikenakan pajak.
“Sekolah-sekolah ini tidak melayani kaum miskin. Mereka selalu menaikan uang sekolah mereka. Saya pikir saat yang tepat bahwa mereka seharusnya dikenai pajak,” kata Alvarez.
Akan tetapi, undang-Undang Filipina mengecualikan lembaga-lembaga amal, Gereja-gereja, komunitas biara dan lembaga-lembaga pendidikan di negeri itu dari membayar pajak.
Hentikan omong kosong tentang sekolah Katolik
Namun, Pastor Tabora mengatakan, “saya kira saatnya untuk berhenti berbicara omong kosong tentang sekolah swasta dan sekolah-sekolah Katolik atas sumbangan mereka bagi pendidikan Filpina.“
Ia mengatakan, dana-dana dari 1,500 sekolah dibawah CEAP ”dikelola kembali untuk memperbaiki berjalannya pendidikan di sekolah-sekolah itu.”
Pastor Tabora mengatakan, “secara rasional” kewajiban membayar pajak yang mengecualikan sekolah-sekolah Katolik adalah “karena mereka sedang menyumbangkan sistem pendidikan Filipina, yang mutunya menjadi tanggung jawab utama negara.”
Ia menjelaskan, jauh sebelum sekolah-sekolah umum dilembagakan di Filipina, sekolah-sekolah Katolik sudah ada, diantaranya adalah Universitas Santo Thomas dari Ordo Dominikan, Ateneo de Manila University, dan Universidad de Santa Isabel.
Uskup Roberto Mallari dari Nueva Ecija, Ketua Komisi Pendidikan Katolik Konferensi Wali Gereja Filipina, menyambut tinjauan pengecualian pajak dan mengatakan itu adalah sebuah peluang bagi pemerintah untuk mengenal pelayanan sekolah Katolik yang disediakan untuk masyarakat, khusunya kaum miskin.
“Adalah baik bahwa (pemerintah) ingin tahu lebih banyak tentang sekolah Katolik dan melihat kebaikan yang mereka sedang kerjakan,” katanya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah seharusnya malahan mendukung lembaga-lembaga Katolik untuk “memaksimalkan kebaikan” yang mereka dapat lakukan.
Uskup Pablo David dari Kalookan mengatakan, jika pemerintah telah menyediakan pendidikan berkualitas, Gereja tidak akan mengelola sekolah-sekolah.
“Sumber daya negara tidak cukup untuk menyediakan pendidikan yang layak kepada semua warga negaranya, “ katanya, sambil menambahkan yang Gereja sedang lakukan untuk kepentingan pemerintah.
“Rakyat yang pergi ke sekolah yang dijalankan gereja adalah pembayar pajak juga, tapi mereka tidak bergantung pada pendidikan umum karena mereka percaya bahwa anak-anak mereka akan mendapat pendidikan yang lebih baik di sekolah yang dijalankan gereja, “ kata Uskup Pablo.