Banyak sekolah Katolik sedang sekarat. Padahal kehadiran sekolah Katolik bisa menjadi sarana mewartakan Kabar Gembira.
Berhadapan dengan arus besar pendidikan yang meningkat drastis belakangan ini, sekolah Katolik dituntut lekas berbenah. Kalau tidak, sekolah-sekolah Katolik yang pada masa lalu menjadi unggulan, bakal tergilas sampai habis.
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) sudah merespon situasi ini delapan tahun lalu dengan mengeluarkan Nota Pastoral. Hasil Nota Pastoral tahun 2008 itu memandang pendidikan sebagai media pewartaan Kabar Baik, unggul, dan berpihak kepada yang miskin.
Dokumen ini sangat relevan dan penting untuk ditilik sebagai kriteria guna mengukur perkembangan pendidikan di sekolah Katolik.
Menindaklanjuti Nota Pastoral 2008 tersebut, Komisi Pendidikan (Komdik) KWI bersama Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) mengeluarkan standar dan karakteristik sekolah Katolik.
Terdapat empat standar dan karakteristik yang ingin dicapai, yaitu misi dan identitas, tata kelola dan kepemimpinan, keunggulan akademik dan non akademik, serta penyelenggaraan pendidikan.
Empat hal tersebut bertujuan memandu sekolah Katolik supaya tetap mempertahankan visi dan misi Gereja yang berpusat pada nilai-nilai Injil, dengan senantiasa berpihak kepada yang miskin dan tersingkir.
Ketua MNPK Romo Vinsensius Darmin Mbula OFM mengatakan, sekolah Katolik dapat dilihat dari berbagai perspektif. Dari sudut penyelenggara dan pengelolaan ada tiga macam, yakni sekolah yang ditangani paroki, sekolah yang ditangani tarekat, dan sekolah yang dikelola awam perorangan.
Menurutnya, sekolah Katolik yang dikelola tarekat imam, suster, dan bruder relatif lebih mampu bertahan dan berkembang. Sedangkan sekolah yang dikelola paroki dan awam banyak yang terkena imbas tren penurunan jumlah siswa beberapa tahun terakhir.
“Jumlah siswa semakin kurang, dengan demikian pemasukan sedikit, sementara biaya operasional sekolah cenderung stabil,” ujar Romo Darmin.
Menurut Romo Darmin, tren menurunnya peminat sekolah Katolik lebih menonjol di Pulau Jawa. Dalam hal ini, ukurannya bukan soal mampu tidak mampu.
Sekolah-sekolah negeri yang dikelola pemerintah terus berbenah dengan sekolah gratis, sembari terus meningkatkan mutu sekolah. Hal ini membuat orangtua yang dulu rela membayar mahal untuk menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik, mulai berpaling ke “sekolah gratis” dengan mutu yang hampir sama.
Sementara di luar Pulau Jawa, minat terhadap sekolah Katolik masih stabil. Romo Darmin memberi contoh. Di daerah asalnya, Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur, ada gerakan pindah ramai-ramai dari sekolah negeri ke sekolah Katolik, karena sekolah-sekolah Katolik rata-rata menyediakan asrama.
Sekolah Katolik yang mempunyai asrama menjadi pilihan utama dibandingkan sekolah Katolik yang tidak memiliki asrama.
Lantas, di mana peran MNPK untuk menyelamatkan sekolah-sekolah Katolik yang sekarat? Romo Darmin mengatakan, MNPK merupakan lembaga yang mengkoordinasi Majelis Pendidikan Katolik (MPK) di 37 Keuskupan di Indonesia.
Sedangkan, MPK bertugas mengoordinasi yayasan-yayasan sekolah yang ada di tiap keuskupan. Perhatian MPK lebih mengarah kepada kebijakan-kebijakan kurikulum, organisasi dan hukum, serta sosialisasi perkembangan kurikulum pendidikan nasional.
Tugas menyelamatkan sekolah Katolik adalah tanggung jawab bersama. Menurut Romo Darmin, peran uskup di setiap keuskupan sangat vital.
Tidak menutup kemungkinan bahwa uskup dapat menerapkan beberapa strategi untuk menangani masalah ini, misal biaya operasional sekolah bisa disokong dari kolekte kedua tiap Misa Minggu.
Di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) muncul gerakan Ayo Sekolah Ayo Kuliah yang hampir dijalankan oleh semua paroki di KAJ.
Dalam gerakan tersebut, umat Katolik terlibat aktif memberikan beasiswa kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu supaya bisa tetap mendapatkan akses pendidikan.
MNPK sendiri belum bisa membantu banyak hal, karena MNPK sifatnya hanya mengoordinasi dan memfasilitasi. Status MNPK bukan sebagai pengambil keputusan yang bisa ikut campur secara langsung di tiap yayasan pengelola sekolah.
Sejauh ini, MNPK mempunyai empat program kerja, yakni kurikulum, organisasi dan hukum, manajemen keuangan, serta identitas dan karakteristik sekolah Katolik.
Terkait organisasi dan hukum, Romo Darmin mengaku bahwa MNPK belum berbadan hukum. Hal ini menyulitkan MNPK untuk bergerak ke lembaga-lembaga pendidikan Katolik. Syukur bahwa urusan legalitas MNPK baru saja selesai. Target berikutnya MNPK akan fokus pada program identitas dan karakteristik sekolah Katolik.
Untuk urusan ini, MNPK menjalin kerja sama dengan Komdik KWI untuk menyiapkan pedoman standar identitas dan karakteristik sekolah Katolik. Pedoman ini nantinya akan didistribusikan ke sekolah Katolik di setiap keuskupan.
“Targetnya tahun ini selesai, sehingga bisa dijadikan pedoman bersama,” ujar Romo Darmin.
Romo Darmin berharap, ke depan MNPK bisa bergerak lebih bebas dalam menjalin kerja sama dengan semakin banyak pihak untuk menyelamatkan sekolah-sekolah Katolik yang sedang sekarat.
Christophorus Marimin
Sumber Tulisan: Majalah HIDUP Edisi 39 Tahun 2016, Terbit pada Minggu: 25 September 2016